Senin, 16 Juli 2007

Patrem Sudah Kugenggam

(Cerpen ini dimuat di koran Sindo, Minggu 15 Juli 2007)


AKU sangat mencintainya, maka aku harus membunuhnya.
Telah kuhunus sepucuk patrem, yang belasan tahun mendekam sebagai pusaka di dalam kotak kayu besi yang terkunci dengan gembok dan terbenam di sudut gudang. Aku nyaris tak bisa membukanya karena gemboknya yang berkarat, dan karena aku telah melanggar sumpah untuk tak lagi menghunusnya.
Boleh jadi, aku bukan Dyah Pitaloka, seorang putri Sunda yang pernah gagal berjodoh dengan Rajasanagara, atau perempuan-perempuan lain setelahnya, yang menggunakan patrem hanya untuk memutus nyawa sendiri. Tapi toh aku tak terlalu keliru kalau menghunusnya untuk membela diri—membela keutuhan rumah tangga kami.
Tiap saat, tiap bangun tidur, sejalan dengan tarikan napas yang berat seperti dalam sebuah pendakian, aku selalu menanamkan kalimat singkat dalam tempurung kepalaku, di balik rambutku yang sudah mulai diwarnai garis putih: persetan dengan lelaki itu!
Bahkan aku juga sudah mencanangkan sumpah: takkan kuhubungi dia lagi!
Tapi tiap kali itu pula aku menerjang sumpah yang baru tertumpah. Tiap pagi, bahkan sebelum kesadaranku tumbuh, kunyalakan ponselku, kutekan-tekan tombolnya, dan seakan-akan muncul begitu saja kata-kata di layar: Hei, aku kangen, bagaimana denganmu? dan kukirimkan ke nomor 08156080066, nomor miliknya.
Dan hanya dalam hitungan di bawah lima, ponselku akan bergetar—sengaja tanpa bunyi—dan akan kuterima jawabannya yang tetap membuat dadaku berdebar: Aku juga kangen berat. Kapan ketemu lagi?
Kalau tidak begitu, aku akan mencari namanya dalam phone book, lalu ku-miss call dia, sekadar untuk mengabarkan bahwa aku ingat dia. Dan hanya dalam hitungan tiga ponselku akan bergetar sekali, miss call darinya. Kadang-kadang dia terpancing dan mengucapkan kata-kata, dengan suara bariton sedikit serak yang tetap menggelitik telinga, untuk menanyakan kabarku: Lagi apa? Ke mana akangmu?
Ah, mestinya namanya kuhapus dari ponselku, dan dari hatiku, agar aku tak bisa menghubunginya lagi. Tapi, bukankah aku hafal benar nomor ponselnya? Satu-satunya nomor ponsel yang kuhafal!
Atau mestinya dia mengganti nomor ponselnya, begitu pula aku, agar aku tak bisa benar-benar menghubunginya, dan dia juga tak bisa mengontakku.
“Tapi aku kan masih bisa menghubungi nomor kantormu, bahkan rumahmu,” katanya ketika pernah kuusulkan suatu saat. Dia tersenyum. Dan aku hanya bisa mengangguk-angguk seperti perkutut.
Yank, aku mencintaimu, mungkin melebihi dalamnya segala cinta, maka kamu memang harus lenyap dari dunia ini, agar aku tak terus-menerus tersiksa dan terkapar oleh getar yang kamu pancarkan dari matamu yang seperti elang siap memangsa.
Patrem di tanganku bergetar. Ujungnya memang sudah pula berkarat, tapi aku yakin ketajamannya masih mampu menembus hingga ke usus.
Teh, aku jemput kau, ya?”
“Jangan! Aku kan bawa mobil sendiri.”
“Di jalan besar, please, sekali ini. Akangmu libur kalau Sabtu, kan? Kita berangkat satu arah, kan? Dan jam dua kujemput kau di jalan depan kantormu. Filmnya bagus, lho. Kita nonton yang jam tiga , mau kan?”
Aku tak lekas menjawab, berpikir untuk membuat sebuah alasan pulang terlambat.
Please?”
“Oke.”
Klik.
Dan sore ini harus menjadi pertemuan kami yang terakhir. Aku sudah lelah merasakan getar cinta yang memabukkan, cinta yang terlalu jauh melayang dari permukaan bumi.
Di kegelapan, ketika film diputar, ketika kami duduk tak berjarak di sudut, akan kuhunus patrem pusakaku, dan kutikamkan tepat di ulu hatinya. Aku yakin tak akan ada orang yang tahu. Dan tak ada orang lain yang akan kehilangan dia. Bukankah dia mengaku lebih senang hidup sendiri? Dengan berbagai petualangan yang belum juga tiba di ujung?
Kamu, Yank, memang hadir pada saat yang tidak tepat—atau justru terlalu tepat—ketika kehidupan di rumahku sudah nyaris seperti bara dalam sekam. Sebuah neraka dalam diam. Ketika mulutku kering membutuhkan setetes air sejuk.
Kadang aku menyesal harus hadir dalam reuni tiga angkatan SMA kita, tempo hari.
Teh Riri?”
Sebuah tatap langsung menghunjam jantung. Menggetarkan. Memacu aliran darah. Kapan aku melihat tatap seperti itu? Dan kemudian tergetar oleh pesonanya? Mungkin bukan pada masa kehidupanku sekarang.
Teh, aku penggemarmu secara diam-diam waktu aku kelas satu. Ah, sudah dua puluh tahun lebih, ya? Waktu itu aku suka banget kalau Teteh datang. Aku ingat, aku selalu menunggu di bawah pohon belimbing dekat gerbang. Sekadar untuk memandang wajahmu yang menggetarkan. Memandangmu lewat di depanku. Langkah yang mantap menuju ruang kelasmu di ujung.”
Aku belum sepenuhnya sadar dari pesona.
“Aku selalu menyesal kenapa lahir kemudian darimu.”
Aku tertawa. Tanpa suara.
“Dan sekarang, setelah belasan tahun, aku menyesal kenapa Teteh lahir lebih dulu.”
Aku tertawa lagi. Kali ini sudah kudengar sendiri tawaku, meski masih agak kaku. Ketika SMA aku sungguh tidak tahu ada mata yang menggetarkan seperti matanya sekarang, yang justru selalu mengawasiku.
Teh…”
“Mmm.”
“Aku mau mengajak makan siang, besok. Mau, kan?”
Tidak. Mestinya.
“Boleh.”
Matanya itu, kemudian, terus-menerus menembus dada. Aku selalu terkapar. Apalagi ketika tangannya juga mengusap tanganku.
Kuusap tanganku yang masih gemetar menggenggam patrem. Tangan yang mestinya terlarang untuk disentuh tangannya, atau tangan siapa pun lelaki lain.
Teteh masih juga seperti dulu. Umurmu 39 atau 21?”
Aku tersenyum.
Aku memang harus menghentikan semua bualannya. Dan tak ada jalan lain selain membunuhnya.
Kuselipkan bilah patrem ke dalam tas tanganku. Sambil menyisir rambutku dan mengamati kantong mata yang menjengkelkan, sekilas kulirik tubuh kegemukan yang masih terkapar di tempat tidur seperti bayi raksasa. Dengkurnya masih merobek-robek telinga. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa aku masih bisa tahan menjalani hidup dengannya belasan tahun. Demi anak kami satu-satunya? Demi kesucian sebuah lembaga bernama pernikahan?
Kadang pula aku seperti mengalami amnesia kalau mencoba mengingat-ingat alasan apa yang membuatku, belasan tahun yang lalu, menerimanya sebagai suami. Dia bukan sosok yang selalu ada dalam bayanganku semula. Secara fisik, tingginya sama belaka denganku, dan jauh dari kesan atletis. Aku hanya ingat sepotong-sepotong kata-kata papa.
“Ri, papa yakin ia anak yang baik. Orang tuanya papa kenal baik. Pendidikannya baik. Dan pekerjaannya baik.”
“Tapi aku tak mencintainya.”
“Ah, tak usah bicara soal cinta dulu.”
Tak lama setelah wisuda, aku bersanding dengannya. Dia memang lelaki yang penuh perhatian, setidaknya pada tahun-tahun awal perkawinan. Juga setelah Dika hadir-melalui operasi yang menyakitkan.
Namun entah sejak kapan, kami menjadi seperti asing satu terhadap yang lain. Mungkin setelah aku memaksa agar ia rela aku menerima sebuah tawaran pekerjaan. “Sayang ijazahku, kan?” kataku waktu itu.
Mungkin juga setelah kariernya makin menanjak. Ketika ia makin sering dipercaya untuk mengemban tugas di berbagai kota.
Aneh, kami seperti dua atlet yang berlomba meraih piala. Pertemuan-pertemuan yang makin sempit di rumah hanya diwarnai percakapan-percakapan yang singkat.
“Mah, Dika berangkat ya!”
“Ya, sayang.”
Bahkan Dika, hingga kini kelas tiga SMP, tak juga bisa menyatukan hati kami dalam sebuah hubungan yang lebih mesra. Makin lama aku merasa seperti berjalan di sebuah padang pasir yang tak berbatas. Tenggorokanku kering. Aku haus.
Sampai dia datang menawarkan tetes-tetes cinta.
Ah, benarkah cinta?
Dika mencium tanganku, juga kedua belah pipiku, sebelum berlari sambil melambai. Oh, wajahku tiba-tiba panas. Pipiku ternyata juga telah menerima kecupan yang sesungguhnya tak berhak kudapatkan.
Kubuka resleting tas tanganku, sekadar meyakinkan. Patrem itu masih terselip di sana.
“Tolong bilang saya pulang agak telat. Bos besar datang dari kantor pusat,” kataku kepada si Bibi.
***
“AKU sudah di bawah pohon mahoni di seberang. Berapa menit lagi?” katanya, lewat ponsel, dengan suara bariton yang tetap menggetarkan.
“Aku segera keluar.”
Ah, kau… dari jauh pun sudah memancar senyummu yang meruntuhkan. Dan aku harus melenyapkan senyum indah itu. Sore ini juga!
Mobil diparkir di basement.
Kami naik ke lantai lima. Di lift, jemarinya meremas jemariku kuat-kuat. Aku selalu tak berdaya menepisnya, dan malah membalas meremas jemarinya. Kami langsung menuju loket. Dia menunjuk nomor kursi di sudut.
Kami masuk ketika film sudah diputar.
Di sudut yang gelap, di pinggangku tangannya melingkar. Aku lagi-lagi terkapar. Napasnya begitu dekat. Bahkan gemuruh dadanya—atau dadaku?—seperti terasa memukul-mukul telinga.
Dadaku makin bergetar ketika layar tiba-tiba gelap oleh wajahnya. Sesuatu yang basah dan hangat menyentuh hidungku. Lalu bibirku.
Ketika tangannya meraba punggungku, tanganku menyelinap dan meraba-raba ke dalam tasku. Terasa sebilah batang logam yang dingin. Namun tanganku bergetar. Aku seperti tak bertenaga sekadar untuk menggenggam gagangnya.
Teh…”
Aku menunggu. Kugenggam gagang patrem yang dingin kuat-kuat, meski dengan jemari yang masih bergetar.
Tapi tak ada kata-kata berikutnya. Yang kurasakan adalah sesuatu yang lembut, hangat, dan basah kembali menyentuh bibirku.
Kupejamkan mata, kurasakan keindahan yang selalu kuimpikan.
Patrem masih juga tergenggam erat jemariku.
***
Bumiayu, 2006

* Teteh: Mbak

Tidak ada komentar: