Senin, 16 Juli 2007

Patrem Sudah Kugenggam

(Cerpen ini dimuat di koran Sindo, Minggu 15 Juli 2007)


AKU sangat mencintainya, maka aku harus membunuhnya.
Telah kuhunus sepucuk patrem, yang belasan tahun mendekam sebagai pusaka di dalam kotak kayu besi yang terkunci dengan gembok dan terbenam di sudut gudang. Aku nyaris tak bisa membukanya karena gemboknya yang berkarat, dan karena aku telah melanggar sumpah untuk tak lagi menghunusnya.
Boleh jadi, aku bukan Dyah Pitaloka, seorang putri Sunda yang pernah gagal berjodoh dengan Rajasanagara, atau perempuan-perempuan lain setelahnya, yang menggunakan patrem hanya untuk memutus nyawa sendiri. Tapi toh aku tak terlalu keliru kalau menghunusnya untuk membela diri—membela keutuhan rumah tangga kami.
Tiap saat, tiap bangun tidur, sejalan dengan tarikan napas yang berat seperti dalam sebuah pendakian, aku selalu menanamkan kalimat singkat dalam tempurung kepalaku, di balik rambutku yang sudah mulai diwarnai garis putih: persetan dengan lelaki itu!
Bahkan aku juga sudah mencanangkan sumpah: takkan kuhubungi dia lagi!
Tapi tiap kali itu pula aku menerjang sumpah yang baru tertumpah. Tiap pagi, bahkan sebelum kesadaranku tumbuh, kunyalakan ponselku, kutekan-tekan tombolnya, dan seakan-akan muncul begitu saja kata-kata di layar: Hei, aku kangen, bagaimana denganmu? dan kukirimkan ke nomor 08156080066, nomor miliknya.
Dan hanya dalam hitungan di bawah lima, ponselku akan bergetar—sengaja tanpa bunyi—dan akan kuterima jawabannya yang tetap membuat dadaku berdebar: Aku juga kangen berat. Kapan ketemu lagi?
Kalau tidak begitu, aku akan mencari namanya dalam phone book, lalu ku-miss call dia, sekadar untuk mengabarkan bahwa aku ingat dia. Dan hanya dalam hitungan tiga ponselku akan bergetar sekali, miss call darinya. Kadang-kadang dia terpancing dan mengucapkan kata-kata, dengan suara bariton sedikit serak yang tetap menggelitik telinga, untuk menanyakan kabarku: Lagi apa? Ke mana akangmu?
Ah, mestinya namanya kuhapus dari ponselku, dan dari hatiku, agar aku tak bisa menghubunginya lagi. Tapi, bukankah aku hafal benar nomor ponselnya? Satu-satunya nomor ponsel yang kuhafal!
Atau mestinya dia mengganti nomor ponselnya, begitu pula aku, agar aku tak bisa benar-benar menghubunginya, dan dia juga tak bisa mengontakku.
“Tapi aku kan masih bisa menghubungi nomor kantormu, bahkan rumahmu,” katanya ketika pernah kuusulkan suatu saat. Dia tersenyum. Dan aku hanya bisa mengangguk-angguk seperti perkutut.
Yank, aku mencintaimu, mungkin melebihi dalamnya segala cinta, maka kamu memang harus lenyap dari dunia ini, agar aku tak terus-menerus tersiksa dan terkapar oleh getar yang kamu pancarkan dari matamu yang seperti elang siap memangsa.
Patrem di tanganku bergetar. Ujungnya memang sudah pula berkarat, tapi aku yakin ketajamannya masih mampu menembus hingga ke usus.
Teh, aku jemput kau, ya?”
“Jangan! Aku kan bawa mobil sendiri.”
“Di jalan besar, please, sekali ini. Akangmu libur kalau Sabtu, kan? Kita berangkat satu arah, kan? Dan jam dua kujemput kau di jalan depan kantormu. Filmnya bagus, lho. Kita nonton yang jam tiga , mau kan?”
Aku tak lekas menjawab, berpikir untuk membuat sebuah alasan pulang terlambat.
Please?”
“Oke.”
Klik.
Dan sore ini harus menjadi pertemuan kami yang terakhir. Aku sudah lelah merasakan getar cinta yang memabukkan, cinta yang terlalu jauh melayang dari permukaan bumi.
Di kegelapan, ketika film diputar, ketika kami duduk tak berjarak di sudut, akan kuhunus patrem pusakaku, dan kutikamkan tepat di ulu hatinya. Aku yakin tak akan ada orang yang tahu. Dan tak ada orang lain yang akan kehilangan dia. Bukankah dia mengaku lebih senang hidup sendiri? Dengan berbagai petualangan yang belum juga tiba di ujung?
Kamu, Yank, memang hadir pada saat yang tidak tepat—atau justru terlalu tepat—ketika kehidupan di rumahku sudah nyaris seperti bara dalam sekam. Sebuah neraka dalam diam. Ketika mulutku kering membutuhkan setetes air sejuk.
Kadang aku menyesal harus hadir dalam reuni tiga angkatan SMA kita, tempo hari.
Teh Riri?”
Sebuah tatap langsung menghunjam jantung. Menggetarkan. Memacu aliran darah. Kapan aku melihat tatap seperti itu? Dan kemudian tergetar oleh pesonanya? Mungkin bukan pada masa kehidupanku sekarang.
Teh, aku penggemarmu secara diam-diam waktu aku kelas satu. Ah, sudah dua puluh tahun lebih, ya? Waktu itu aku suka banget kalau Teteh datang. Aku ingat, aku selalu menunggu di bawah pohon belimbing dekat gerbang. Sekadar untuk memandang wajahmu yang menggetarkan. Memandangmu lewat di depanku. Langkah yang mantap menuju ruang kelasmu di ujung.”
Aku belum sepenuhnya sadar dari pesona.
“Aku selalu menyesal kenapa lahir kemudian darimu.”
Aku tertawa. Tanpa suara.
“Dan sekarang, setelah belasan tahun, aku menyesal kenapa Teteh lahir lebih dulu.”
Aku tertawa lagi. Kali ini sudah kudengar sendiri tawaku, meski masih agak kaku. Ketika SMA aku sungguh tidak tahu ada mata yang menggetarkan seperti matanya sekarang, yang justru selalu mengawasiku.
Teh…”
“Mmm.”
“Aku mau mengajak makan siang, besok. Mau, kan?”
Tidak. Mestinya.
“Boleh.”
Matanya itu, kemudian, terus-menerus menembus dada. Aku selalu terkapar. Apalagi ketika tangannya juga mengusap tanganku.
Kuusap tanganku yang masih gemetar menggenggam patrem. Tangan yang mestinya terlarang untuk disentuh tangannya, atau tangan siapa pun lelaki lain.
Teteh masih juga seperti dulu. Umurmu 39 atau 21?”
Aku tersenyum.
Aku memang harus menghentikan semua bualannya. Dan tak ada jalan lain selain membunuhnya.
Kuselipkan bilah patrem ke dalam tas tanganku. Sambil menyisir rambutku dan mengamati kantong mata yang menjengkelkan, sekilas kulirik tubuh kegemukan yang masih terkapar di tempat tidur seperti bayi raksasa. Dengkurnya masih merobek-robek telinga. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa aku masih bisa tahan menjalani hidup dengannya belasan tahun. Demi anak kami satu-satunya? Demi kesucian sebuah lembaga bernama pernikahan?
Kadang pula aku seperti mengalami amnesia kalau mencoba mengingat-ingat alasan apa yang membuatku, belasan tahun yang lalu, menerimanya sebagai suami. Dia bukan sosok yang selalu ada dalam bayanganku semula. Secara fisik, tingginya sama belaka denganku, dan jauh dari kesan atletis. Aku hanya ingat sepotong-sepotong kata-kata papa.
“Ri, papa yakin ia anak yang baik. Orang tuanya papa kenal baik. Pendidikannya baik. Dan pekerjaannya baik.”
“Tapi aku tak mencintainya.”
“Ah, tak usah bicara soal cinta dulu.”
Tak lama setelah wisuda, aku bersanding dengannya. Dia memang lelaki yang penuh perhatian, setidaknya pada tahun-tahun awal perkawinan. Juga setelah Dika hadir-melalui operasi yang menyakitkan.
Namun entah sejak kapan, kami menjadi seperti asing satu terhadap yang lain. Mungkin setelah aku memaksa agar ia rela aku menerima sebuah tawaran pekerjaan. “Sayang ijazahku, kan?” kataku waktu itu.
Mungkin juga setelah kariernya makin menanjak. Ketika ia makin sering dipercaya untuk mengemban tugas di berbagai kota.
Aneh, kami seperti dua atlet yang berlomba meraih piala. Pertemuan-pertemuan yang makin sempit di rumah hanya diwarnai percakapan-percakapan yang singkat.
“Mah, Dika berangkat ya!”
“Ya, sayang.”
Bahkan Dika, hingga kini kelas tiga SMP, tak juga bisa menyatukan hati kami dalam sebuah hubungan yang lebih mesra. Makin lama aku merasa seperti berjalan di sebuah padang pasir yang tak berbatas. Tenggorokanku kering. Aku haus.
Sampai dia datang menawarkan tetes-tetes cinta.
Ah, benarkah cinta?
Dika mencium tanganku, juga kedua belah pipiku, sebelum berlari sambil melambai. Oh, wajahku tiba-tiba panas. Pipiku ternyata juga telah menerima kecupan yang sesungguhnya tak berhak kudapatkan.
Kubuka resleting tas tanganku, sekadar meyakinkan. Patrem itu masih terselip di sana.
“Tolong bilang saya pulang agak telat. Bos besar datang dari kantor pusat,” kataku kepada si Bibi.
***
“AKU sudah di bawah pohon mahoni di seberang. Berapa menit lagi?” katanya, lewat ponsel, dengan suara bariton yang tetap menggetarkan.
“Aku segera keluar.”
Ah, kau… dari jauh pun sudah memancar senyummu yang meruntuhkan. Dan aku harus melenyapkan senyum indah itu. Sore ini juga!
Mobil diparkir di basement.
Kami naik ke lantai lima. Di lift, jemarinya meremas jemariku kuat-kuat. Aku selalu tak berdaya menepisnya, dan malah membalas meremas jemarinya. Kami langsung menuju loket. Dia menunjuk nomor kursi di sudut.
Kami masuk ketika film sudah diputar.
Di sudut yang gelap, di pinggangku tangannya melingkar. Aku lagi-lagi terkapar. Napasnya begitu dekat. Bahkan gemuruh dadanya—atau dadaku?—seperti terasa memukul-mukul telinga.
Dadaku makin bergetar ketika layar tiba-tiba gelap oleh wajahnya. Sesuatu yang basah dan hangat menyentuh hidungku. Lalu bibirku.
Ketika tangannya meraba punggungku, tanganku menyelinap dan meraba-raba ke dalam tasku. Terasa sebilah batang logam yang dingin. Namun tanganku bergetar. Aku seperti tak bertenaga sekadar untuk menggenggam gagangnya.
Teh…”
Aku menunggu. Kugenggam gagang patrem yang dingin kuat-kuat, meski dengan jemari yang masih bergetar.
Tapi tak ada kata-kata berikutnya. Yang kurasakan adalah sesuatu yang lembut, hangat, dan basah kembali menyentuh bibirku.
Kupejamkan mata, kurasakan keindahan yang selalu kuimpikan.
Patrem masih juga tergenggam erat jemariku.
***
Bumiayu, 2006

* Teteh: Mbak

Sabtu, 07 Juli 2007

Ki Dalang jeung Wayangna

(Dua carpon mini ini dimuat di majalah Cupumanik nomor 48, Juli 2007)


Panakawan
POHARA bingungna Ki Dalang basa manehna teu manggihan Semar katut palaputrana di jero kotak wayang. Padahal, geus cunduk kana waktu pikeun para panakawan naek kana panggung, ngahibur nu lalajo nu sawareh katingali geus narundutan.
“Bieu ge aya,” ceuk Ki Dulah, nu biasa mantuan neangan wayang nu dibutuhkan Ki Dalang. Sorana ngageter bakat ku sieun.
“Teangan deui atuh, da moal ka mamana. Bisi kaselap jeung para buta,” ceuk Ki Dalang teugeug, bari rada bolotot.
Ki Dulah mariksa deui wayang nu geus naranceb dina gebog, ditingali hiji-hiji, boh nu aya di beulah kenca, kitu deui nu beulah katuhu gebog cau. Tapi angger manehna teu manggihan boh Semar, Astrajingga, Da­wa­la, atawa Gareng.
Ki Dulah tuluy ngorehan deui eusi kotak wayang, saha nyaho manehna poho can ngaluarkeun. Ngan sakainget manehna, ti sore keneh ge Semar jeung palaputrana mah geus dikaluarkeun. Manehna ge apal yen Ki Dalang mah tara ngadagoan tengah peuting mun rek nampilkeun para panakawan teh.
Sakabeh eusi kotak wayang geus dikorehan, dikaluarkeun, nepi ka teu nyesa, tapi para panakawan angger teu kapanggih. Ka mana wayang-wayang teh? Piraku aya nu maok mah? Jang naon?
Sora sinden geus ngahaleuangkeun kawih kahiji. Kuduna mah Astrajingga geus ngarengkenek ti tadi keneh.
“Mana euy Cepotna!” ceuk nu lalajo.
Ki Dalang beuki leungit akal, teu nyaho kudu kumaha. Sakali deui manehna ngalieuk ka Ki Dulah, tapi Ki Dulah ukur gogodeg. Kesang geus luut-leet, kulantaran cape jeung sieun.
Tepi ka rengse deui kawih sinden nu kadua, sora kendang teh ukur mirig panggung kosong dina gebog.
Antukna mah Ki Dalang neruskeun pagelaran wayangna bari teu nampilkeun panakawan. Euweuh selingan mangrupa bobodoran nu pada mikaresep ku nu lalajo. Bisa wae Ki Dalang maenkeun para buta pikeun ngabodor, tapi asa moal apdol kawas heureuyna Astrajingga jeung Dawala. Ngan nu puguh mah, Ki Dalang teu bisa maenkeun Prabu Darmakusumah pikeun ngabodor.
Basa pagelaran geus lekasan, basa ngabereskeun wayang-wayangna, Ki Dalang ngagebeg ningali para panakawan opatan mecenghul tina kotak wayang.
“Tah geuning aya! Di mana tadi nyimpenna?” Ki Dalang nanya ka Ki Dulah.
Tapi ngadadak Astrajingga ngabarakatak. Ki Dalang beuki gegebegan. Maenya aya wayang bisa seuseurian sorangan?
“Heuheuy, tong reuwas, Ki Dalang! Uing saparakanca teh hayang istirahat heula. Di ieu nagri teh geus loba teuing tukang bodor, ku kituna jang naon uing ngabodor lamun teu matak pikaseurieun mah?”
***


Amarta
KI Dalang bingung teu manggih tungtung. Manehna teu bisa gancang manggihan wayang nu kuduna diperelukeun harita. Wayang-wayang teh jiga nu parebut tempat dina gebog cau beulah katuhu. Para raksasa jeung para denawa nu goreng rupa pasesedek jeung para sinatria nu hade rupa. Euweuh deui wates antara nu bener jeung nu jahat.
Ku naon bisa kitu, Ki Dalang ge teu nyaho. Sakainget manehna, basa keur nanceb-nancebkeun wayangna, Ki Dalang jeung Ki Dulah yakin pisan yen para raksasa goreng rupa mah ngajajar di beulah kenca, sedengkeun para sinatria kabeh ngajejer di beulah katuhu gebog cau.
Atuh pagelaran wayang teh jadi paburantak. Ki Dalang geus yakin manehna nyokot Prabu Darmakusumah. Na eta mah, nu aya dina leungeunna teh bet Arya Dursasana. Meh wae manehna maenkeun Dursasana basa nyaritakeun kaayaan di jero istana Amarta. Teu lila, Ki Dalang geus rek ngigelkeun Astrajingga dipirig kawih jeung kendang jaipongan. Na, sihoreng nu dicekel dina leungeun Ki Dalang teh Dewi Banowati. Kacipta atuh mun prameswari Astina nepi ka ngarengkenek bari hahay-heuheuy…
Nu leuwih aneh deui, Ki dalang teu bisa deui ngatur jalanna carita. Carita teh ngalantur ka mana-mendi. Padahal Ki Dalang geus ti mimiti keneh nyiapkeun carita ngeunaan Darmakusumah basa diistrenan jadi raja Amarta, diluyukeun jeung pamenta nu nanggap, nyaeta walikota anyar.
Jalan carita mimiti mengkol teu genah alang-ujurna basa Bima ngadadak teu panuju Darmakusumah jadi raja. Alesanana, Darmakusumah masih keneh boga dosa anu can katebus, nyaeta maen judi kucara nandonkeun nagara Astina jeung pamajikanana sorangan, Dewi Drupadi. Bima tuluy ngajukeun diri sorangan minangka calon alternatip. Bima ngarasa panggedena jasana basa Pandawa bajuang ngababad leuweung Wanamerta. Bima siap parebut kalungguhan jeung lanceukna.
Tapi lain Bima wungkul. Arjuna ge ngadadak tanggah bari tatag nyarita. Arjuna ngarasa boga hak anu sarua pikeun silihsihung jeung lanceukna nu duaan parebut kalungguhan. Arjuna boga alesan yen ngan manehna nu pangpantesna jadi raja. Salian ti sakti mandraguna, manehna geus sohor pangkasepna.
Nakula jeung Sadewa kitu deui. Najan biasana tara loba nyarita, Nakula jeung Sadewa ngadadak hayang parebut kakawasaan jadi raja katut patihna.
Carita beuki paburantak basa para dedengkot golongan kiri (maksudna wayang-wayang nu biasana ngajajar di beulah kenca) ngaleut miluan daptar hayang jadi raja di Amarta. Aya Jayajatra, Citrayuda, Dadungawuk, Padasgempal, nepi ka Sarpakanaka sarua pada-pada daptar jadi raja.
“Setop! Setop!” Pa Walikota anyar ngagorowok bari nulak cangkeng. Beungeutna ngembang wera, ambek kabina-bina, tur era ku para pajabat sejen nu diuk gigireunana.
“Ki Dalang, naha caritana ngalantur kitu?” gorowokna deui.
“Abdi ge teu terang, Pa Wali,” jawab Ki Dalang bari ngageter.
“Teu nyaho kumaha? Piraku!”
“Mangga we tingali nyalira ku Pa Wali.”
Enya we, dina panggung gebog cau, sihoreng wayang-wayang teh tingpecenghul, tuluy ngarengkenek jeung nyarita sorangan!
***
Bandung, Juni 2007

Madirda

SUNGGUH malang menjadi perempuan, pun di zaman ketika manusia kadang lebih perkasa dibanding dewa. Lihatlah Retna Anjani, yang terpaksa memencilkan diri di tepi telaga Madirda yang sunyi, menjalani tapa tanpa busana, hanya karena sebuah kutuk yang tak dia pahami. Tapa yang membuat para dewa pun tak tahan memandangnya.
Bayangkan tubuh langsat tanpa cacat, duduk bersila, dengan rambut hitam yang terurai menabiri payudara dan bagian tubuhnya yang paling rahasia. Siapa yang tak tergila-gila oleh pendar yang memancar memantulkan cahaya angkasa?
Dia tak pernah meminta cupu itu. Cupumanik Astagina. Dia menerimanya dari sang ibu, Retna Windradi, sebagai sebuah hadiah bahwa dia telah menjelang usia dewasa. Dia juga tak tahu, dan tak ingin tahu, dari mana sang ibu memperolehnya. Dia hanya merasa senang bukan karena mendapat cupu, melainkan karena dia sudah dianggap dewasa, sudah merasa menjadi wanita sempurna. Pandanglah, dia memang wanita yang sangat jelita.
“Jangan kauperlihatkan kepada siapa pun, apalagi kauberikan,” pinta sang ibu. “Kalau pesan ini sampai terlanggar, suatu kejadian yang tak diharapkan akan terjadi.”
Wanti-wanti seperti itulah yang dia terima ketika Batara Surya memberikannya sebagai tanda cinta.
Sayangnya, mungkin karena cahayanya yang memancar ke sekitar, pusaka kadewatan itu menarik juga perhatian kedua adiknya—adik kembarnya, Guwarsi dan Guwarsa. Bukankah lelaki selalu merasa lebih berhak terhadap warisan para leluhur? Keduanya merebut cupu itu, dan ketiga kakak beradik itu saling berebut, tanpa mereka sadari kemudian bahwa cupu itu tiba-tiba berada di genggaman sang ayah, Resi Gotama.
“Siapa yang memberikan cupu ini kepadamu?”
Anjani tak berkata-kata.
“Kan kusumpah siapa pun yang berkata bohong.”
Anjani pun mengaku dengan kata-kata yang lebih mirip bisikan.
Resi Gotama menatap tajam Retna Windradi. O, ia tahu siapa yang memberikan benda dewata itu. Ia pun tahu apa yang terjadi dengan Windradi saat-saat ia tengah bermesu diri. Sang Resi tahu karena ia bukan manusia biasa, melainkan keturunan Batara Ismaya, yang bisa tahu segala hal. Namun Resi Gotama ingin mendapat pengakuan secara jujur.
“Dari mana kau mendapatkannya?”
Retna Windradi terdiam. Juga ketika Resi Gotama bertanya untuk kedua kalinya.
“Bukankah ini tanda cinta Batara Surya?”
Retna Windradi mengangkat wajahnya sejenak, tapi bibirnya tetap terkatup rapat. Inilah puncak kesedihan seorang Resi Gotama, lelaki tua yang tak pantas bersanding dengan seorang bidadari swargaloka, meski itu hadiah yang layak ia terima sebagai balas jasa dari para dewa.
“Tiga kali aku bertanya dan kau tetap diam saja. Kau sungguh seperti tugu.”
Halilintar menggelegar dan cahaya menyilaukan nyaris membutakan.
Di hadapan mereka, Retna Windradi berubah menjadi batu.
Ah, mengapa perempuan selalu tak kuasa untuk melawan? Bukankah bukan salahnya kalau Dewi Windradi dilimpahi cinta Sang Surya? Dia terlahir sebagai perempuan jelita dan Resi Gotama terlalu renta untuk bisa memberinya cinta. Bagaimana pula dia, seorang perempuan yang mendamba, menolak cinta seorang batara?
Namun Resi Gotama adalah lelaki dan lelaki pantang dikhianati. Maka dengan menyalurkan tenaganya ke satu tangan kanan, ia lemparkan cupu itu ke angkasa, meninggalkan kesiur suara yang menyayat telinga.
Guwarsi dan Guwarsa berebut cepat memburu arah lemparan.
Anjani terseok-seok di belakang. Dia tak mau kehilangan cupu itu. Cupu miliknya. Cupu yang diberikan sang ibu karena saatnya sudah tiba. “Cupu ini mengandung rahasia kehidupan alam nyata dan alam kasuwargan. Dengan membuka Cupumanik Astagina, melalui mangkoknya kita akan dapat melihat dengan nyata dan jelas gambaran swargaloka yang serba polos, suci, dan penuh kenikmatan. Sedangkan dari tutupnya akan dapat kaulihat dengan jelas seluruh kehidupan semua makhluk yang ada di jagat raya. Sedangkan khasiat kesaktian yang dimiliki Cupumanik Astagina ialah dapat memenuhi semua apa yang kauminta dan menjadi keinginan pemiliknya,” kata sang ibu waktu itu.
Namun kini, di depan mereka membentang sebuah telaga, dan mereka menyangka cupu itu jatuh ke dalamnya. Mereka tidak tahu bahwa justru cupu itulah yang telah berubah menjadi telaga.
Guwarsi dan Guwarsa terjun ke dalam telaga, sedangkan Anjani hanya membasuh muka. Ketika muncul kemudian, Guwarsi dan Guwarsa berubah menjadi sepasang kera, sedangkan Anjani hanya berwajah dan bertangan kera.
Ketiganya hanya bisa menangis dengan sesal yang menggumpal.
Tanpa kata, Guwarsi dan Guwarsa menyuruk ke dalam hutan, sama-sama hendak menjalani tapa, menebus rasa sesal dan dosa.
Di tepi telaga, Anjani melepaskan semua busananya, menguraikan rambutnya, dan duduk bersila seraya mengheningkan cipta.
Bagaimana mungkin dia menghadapi dunia dengan wajah mengerikan seperti itu? Dia memilih mati di tepi telaga apabila tak memperoleh kemurahan dewata sehingga wajahnya pulih kembali seperti sedia kala. Maka, hari demi hari lewat, bulan demi bulan pun berlalu, Anjani bertekad meneruskan tapanya hingga penghuni surga mendengar semua doanya. Dia hanya menelan makanan yang jatuh di hadapannya dan dia minum embun yang membasahi bibirnya.
Namun lihatlah, seluruh permukaan tubuh telanjang Anjani tetap memancarkan sinar keindahan yang tiada tara. Apalagi kalau kita memandangnya dari ketinggian dan sudut tertentu di angkasa. Dada siapa tak berdebur menikmati pemandangan yang demikian menggairahkan?
Bahkan Hyang Girinata, dewanya para dewa, pun tak kuasa menahan gejolak dadanya. Padahal, dia datang hanya untuk meluluskan permohonan Anjani, yang doanya sudah memenuhi udara surga. Dia pun datang diiringi Batara Narada dan para dewa lainnya. Namun justru karena itulah, karena kedatangan para dewalah, udara yang menyelubungi tapa Anjani menjadi benderang.
Dan semua dewa terkesima.
Tubuh sempurna Anjani memantulkan cahaya para dewa.
Pahanya yang kuning langsat sungguh sangat memesona siapa pun yang menatapnya. Alangkah indahnya pemandangan itu. Dan tanpa disadari Anjani, alangkah dahsyat akibatnya.
Para dewa belingsatan tak tahu hendak berbuat apa, menimbulkan angin yang membadai di angkasa.
Hyang Girinata pun tak kuat menahan badai berahinya. Dia hanya bisa terpana dan air kelelakiannya memancar seperti permata, jatuh membasahi selembar daun sinom yang tengah melayang jatuh.
Angin masih bertiup kencang dan daun sinom meliuk-liuk sebelum jatuh di paha Anjani.
Anjani mengunyah daun sinom dan menelannya.
Bulan demi bulan, perut Anjani membesar tanpa dia ketahui sebabnya. Dia baru menyadarinya ketika dirasakannya sebentuk makhluk yang menendang-nendang dinding rahimnya.
“Ah, apakah aku mengandung sesosok bayi? Kalau benar, siapakah yang melakukannya? Lelaki mana yang tega mengancurkan hidup perempuan tak berdaya? Oh, apakah ia, siapa pun lelaki itu, melakukannya dalam ketidaktahuanku? Duhai, alangkah terkutuknya aku…”
Lihatlah, mengapa hanya perempuan yang harus menanggung beban? Bukankah peristiwa seperti itu tak akan terjadi tanpa peran serta lelaki? Lalu, di mana tanggung jawabmu, para lelaki?
“Siapa pun engkau, datanglah wahai lelaki, tunjukkan wajahmu. Mungkin aku akan bisa mencintaimu meski aku ragu engkau akan mencintaiku dengan wajah yang seperti ini. Atau mungkin aku hanya sekadar menatap wajahmu sebelum engkau kembali meninggalkanku. Bagaimana mungkin aku kembali ke riuhnya dunia dalam keadaan berbadan dua, tanpa kuketahui siapa ayahnya?”
Air mata Anjani meleleh menuruni pipinya yang berbulu, dan jatuh di betisnya. Hangat air mata tak menghangatkan hatinya.
Tubuh berwajah kera mungkin tak lagi menjadi derita. Tapi mengandung sesosok makhluk tanpa tahu siapa yang melakukannya? Nista ini jauh lebih merobek hati dibanding sekadar wajah dan tangan yang berbulu.
Apa lagi yang tersisa dari arti hidupnya? Dia adalah wanita yang terlupa, tersia-sia, dan bahkan ternista. Apa lagi yang bisa dia pertahankan untuk terus menjalani kehidupan?
“Duhai Dewata, cabutlah nyawa hambamu ini…”
Tak ada jawaban.
Waktu seperti berhenti.
Dan angin pun mati.
Namun tiba-tiba angin bertiup kencang. Pepohonan meliuk-liuk bagaikan tarian gila. Hujan seakan tumpah dari langit yang membelah. Halilintar menggelegar-gelegar. Kilat menyambar-nyambar. Pepohonan bertumbangan dan gunung-gunung menyemburkan api seperti naga raksasa.
Anjani pasrah menyambut nasibnya.
Juga ketika makhluk dalam perutnya menggeliat-geliat dahsyat, seperti mencabik-cabik segenap saraf tubuhnya. Demikiankah pertanda kelahiran sang bayi?
Anjani menjerit-jerit tanpa suara, menahankan sakit yang tak terkira.
Dia juga tak tahu ketika dari surga turun para bidadari untuk membantu kelahiran sang bayi. Anjani menjerit, tubuhnya bergetar, sakitnya tak tertahankan, seperti disayat seribu sembilu, dicabik selaksa badik.
Dan kemudian angin berhenti. Pepohonan diam. Hujan badai reda. Gunung-gunung membisu.
Hanya kesunyian.
Bahkan tak ada tangis bayi.
Anjani menoleh pelahan dengan sisa tenaga. Di sampingnya tergolek sesosok makhluk mungil, putih seperti seonggok kapas. Menggerak-gerakkan kedua tangannya, kedua kakinya, dan ekornya. Oh, dia beranak seekor kera putih.
Anjani memekik membelah langit.
***
Bandung, September 2006
(Cerpen ini pernah dimuat di harian Jawa Pos)

Jumat, 06 Juli 2007

Sang Terkutuk

(Ini cerpenku, yang pernah dimuat di Suara Merdeka, 26 Juni 2005)

TIUPAN angin lirih dari arah hutan Saptarengga yang membawa harum cempaka dan kemudian menyingkapkan kainmu, Dinda, sehingga memperlihatkan putih betismu—betis terindah di mayapada—membuatku sekali lagi harus mati-matian menahan gelegak cinta. Sepanjang hayatku, aku mampu menghadapi sesakti apa pun ajian serta pusaka. Namun, terhadap kecantikanmu, aku selalu terkapar tak berdaya apa-apa.
Derita apa lagi yang lebih berat daripada tidak bisa mengecap cinta justru dari kekasih yang setiap hari mengiringi?
Oh, Putri Mandaraka, apalah arti nyawa dibanding cinta yang kudamba sepanjang masa.
Penaklukan-penaklukanku, boleh jadi, menjadi sekadar darma yang harus kujalani, sebagai seorang ksatria yang menggenggam berbagai pusaka. Telah kulakoni semua kisah yang diguratkan semesta. Namun, mungkin tak ada yang tahu, sepak terjangku sesungguhnya semata-mata pelampiasan berahiku yang tak pernah bisa tersalurkan.
Kau tahu, bahkan semenjak aku baru lahir ke jagat ini, aku harus memikul sebuah kemustahilan. Sebagai bayi merah, aku mesti menghadapi maharaja negeri Kiskenda, Nagapaya yang perkasa, yang ayahku, Kresna Dwipayana, bahkan para dewa, pun tak sanggup menaklukkannya! Aku tak tahu logika jagat raya, tapi aku berhasil menjadi sang pemenang dan kemudian beranugerah pusaka sakti Hrudadali, minyak tala, dan gelar Dewanata.
Darma ksatria pulalah tentu yang membawaku mengikuti sayembara di Negeri Mandura. Sebagai calon pemegang takhta, aku harus memiliki wanita utama untuk menjadi belahan jiwa. Sayang aku terlambat dan putri Mandura telah diboyong ksatria bernama Narasoma. Namun, justru kesombongannyalah yang membuatku memiliki kesempatan menjadi peserta terakhir sayembara.
Ksatria Mandaraka itu menantangku, dan aku melayaninya. Aku bisa mengalahkannya dan berhak atas putri Mandura yang jelita. Ia bahkan rela menyerahkan adik perempuannya, engkaulah Dinda, putri yang tak kalah jelita.
Dan, kalau saja aku mau, bisa saja aku memiliki untukku sendiri Gendari, putri Plasajenar yang parasnya cantik bersinar, yang diserahkan sang kakak Sakuni sebagai tanda takluk setelah mencoba merebut engkau dan ayundamu dari tanganku. Gendari kuserahkan kepada kakakku karena aku toh merasa lebih dari cukup memiliki engkau dan ayundamu.
Namun darma demi darma, pertempuran demi pertempuran, kisah demi kisah, membuatku tak juga bisa memadu cinta dengan dua putri terkasih. Kau tahu, demi kedigdayaan negara, aku mesti menaklukkan Magada, Mantili, Kasi Sumba, Pundra, dan lain-lainnya. Aku bahkan tak bisa menolak setiap permohonan pertolongan. Prabu Basudewa yang dirongrong Gorawangsa, misalnya, tentu aku tak bisa melepas tangan dan memalingkan muka. Aku juga tak bisa berdiam diri ketika kesucian Kaendran diacak-acak Kalaruci.
Di tanganku, negeri ini menjelma menjadi rembulan yang menyinari angkasa raya, yang cahayanya terus memancar sepanjang masa. Negeri-negeri tetangga berbondong untuk menjalin persahabatan yang abadi. Rakyat aman dan sejahtera karena tak ada yang berani mengganggu ketenteraman negeri.
Namun, apalah arti semua itu kalau aku belum juga mengecap setetes pun kebahagiaan cinta? Bayangkan, bertahun-tahun aku harus mengekang diri dari segala berahi sementara setiap malam di sebelah kananku berbaring ayundamu dan di sebelah kiriku engkau, oh, dua putri yang kecantikan dan kemolekannya tak ada bandingannya di negeri ini, bahkan mungkin di jagat ini!
Semua hanya karena kutukan yang tak pernah bisa kupahami. Apa yang telah kuperbuat pada kehidupan-kehidupanku sebelumnya?
Bahkan jauh sebelum aku lahir, aku harus menerima kutukan hanya karena perilaku ibuku. Entah karena ia merasa bahwa ia masih istri raja sebelumnya, entah juga karena ia merasa terlalu jelita dibanding ayahku yang memang berwajah buruk, dengan kulit muka yang legam dan janggut menjalar di sepanjang dagunya, maka ketika sampai pada puncak persenggamaan, wajah ibuku memucat seperti kapas dan berpaling untuk menghindari wajah sang suami.
Maka lahirlah aku dengan wajah yang pucat dan kepala yang tengeng—meski orang-orang tetap menilaiku tampan.
Dan takkan bisa kulupakan, Dinda, peristiwa paling terkutuk itu, peristiwa yang membuatku selalu terayun-ayun di antara penyesalan dan kemarahan. Aku, seorang pemburu yang tak terlawan, yang tak pernah gagal setidaknya membawa pulang seekor menjangan, hari itu tak menjumpai satu pun hewan di hutan yang biasa menjadi tempat perburuan. Sudah kujelajahi berbagai sudut hutan, tapi yang kudengar hanyalah desau angin basah di antara dedaunan. Ke mana para penghuninya yang biasanya mudah kudapatkan meskipun bersembunyi di setiap gerumbul perdu atau pepohonan?
Bahkan hingga batas rimba, aku hanya menemui kesunyian yang menggiriskan.
Ya, bagaimana mungkin di rimba Tundalaya nan perawan, yang pekat oleh berbagai tetumbuhan, tak kudengar bahkan dengung serangga dan kelepak burung kolika? Atau apakah ini bagian kisah yang tengah dituliskan oleh si pemegang takdir manusia? Takdir macam apa yang harus lebih dulu melalui jalan peristiwa yang tak masuk akal?
Akhirnya aku bisa melepas napas lega ketika kulihat sepasang kijang justru di batas hutan. Yang satu tengah masyuk mengunyah rumput, sedang yang lainnya mengusap-usapkan sepasang tanduknya yang indah di tubuh pasangannya.
Aku tahu, dua kijang itu tengah menjalin kasih. Dan sesungguhnya aku juga tahu, tak boleh melepaskan senjata terhadap makhluk yang tengah memadu asmara. Namun, ah, dalam sekian detik itu aku khilaf, barangkali oleh kepenatan dan pertanyaan yang bergulung-gulung di kepala.
Kurentangkan busur dan kubidikkan anak panah, yang kemudian melesat membelah udara dan menembus tepat di tengah leher kijang jantan, menyemburkan darah merah di kedua lubang lukanya. Kubiarkan sang betina tunggang langgang menembus pekatnya rimba.
Dan aku kembali diempaskan ke belantara kesadaran ketika sang kijang jantan yang tengah meregang nyawa menatapku melalui kedua matanya yang muram. “Oh, raja darah Barata, apa dosa yang telah kulakukan sehingga tanpa sebab kau tega melepaskan senjata?” katanya terbata-bata.
Aku mencoba berkilah bahwa tak ada benar atau salah, suci atau dosa, di antara pemburu dan binatang buruan. Bukankah yang ada adalah kekuasaan? Pemburu punya wewenang untuk memburu, dan binatang punya wewenang guna menghindar terhadap bahaya. “Kenapa engkau tidak menghindar kalau tahu ada ancaman?”
Sang kijang membakar dadaku dengan sorot matanya. “Oh, Sang Prabu yang tengah mengumbar amarah. Benar, apa pun isi rimba boleh engkau buru sesuka hati. Itu memang anugerah yang kita terima. Namun engkau pasti tahu kekecualiannya, yakni jangan kau usik mereka yang tengah berkasih-kasihan membangun perkawinan, menikmati indahnya cinta, mencoba meneruskan kelangsungan semesta. Merpati yang saling bercumbu di dahan perdu, bahkan kupu-kupu yang menjalin asmara di langit biru. Ketahuilah, saya Kimindama yang tak pernah berbuat dosa. Karena itu, apa yang saya ucapkan niscaya akan menjelma nyata: mulai hari ini, engkau tak dapat memperoleh kemuliaan cinta. Ajalmu akan datang tiap engkau berhasrat meraih indahnya asmara.”
Aku menjerit mengungkapkan sesal yang menggumpal. Namun Sang Kimindama telanjur muksa, dan kutukan itu harus kupikul detik itu juga. Selamanya.
Dinda, meski terlampau berat, mungkin sebenarnya aku masih akan sanggup menyandang kutukan ini. Bukankah aku bisa mengheningkan batin melalui tapa di berbagai sudut gunung yang sunyi? Di keheningan seperti itu, aku bisa memuja Sang Pemilik Semesta, seraya berharap bisa lepas dari kutuk Kimindama.
Namun kau pasti bisa merasakan, betapa hancurnya hatiku—meski atas nama takdir sekalipun—bila mengingat ayundamu, melalui ajian adityaredaya-nya, tiga kali bercumbu dengan tiga dewa yang berbeda, Batara Darma, Batara Bayu, dan Batara Indra, yang memberinya Puntadewa, Wrekodara, dan Janaka. Oh, Dinda, bukan hanya tiga kali, melainkan empat. Bukankah sebelum menjadi permaisuriku, tatkala masih menjadi bunga di negeri Mandura, ayundamu pernah menjalin asmara dengan Batara Surya, yang membuahkan putra bernama Aradeya—yang untuk menghilangkan nista dan menjaga lambang kesuciannya terpaksa dilahirkan melalui telinga?
Dan kemudian, aku pun harus menutup mata dan mengunci lubang telinga ketika kau sendiri, wanita yang begitu kudamba, entah demi memenuhi guratan takdir entah ada alasan lain, juga melalui mantra adityaredaya yang dibisikkan ayundamu, memadu kasih dengan sang dewa kembar, Batara Aswin, yang kemudian memberimu putra kembar Nakula dan Sadewa.
Lengkap sudah kepedihan hati ini.
Memang benar, kalau tidak begitu, aku tak akan pernah punya keturunan. Kehampaan hati seperti apa yang bisa mengalahkan kehampaan hati seorang ksatria yang tak punya siapa pun yang akan diwarisi segalanya? Siapa yang akan melanjutkan terah Barata demi kejayaan Hastinapura?
Namun, aku hanyalah manusia biasa, yang belum juga memahami mengapa takdirku tak lebih dari kutukan demi kutukan belaka.
***
DINDA, lihatlah lebah-lebah yang mencari madu mengerumuni bunga asoka, dengarlah kicau sepasang cucakrawa yang bersahut-sahutan di dahan-dahan pohon parijatha, dan ciumlah wangi teratai yang sedang mengembang di permukaan telaga. Semua itu sungguh membuat wajahmu kian jelita.
Dan ah, embusan angin yang harum itu lagi-lagi menyibakkan kainmu, memperlihatkan betismu yang bercahaya, menjadikan keindahan itu makin sempurna.
Marilah Dinda, jangan ragu, aku sudah memutuskan, aku rela melepas nyawa dan segala kemewahan dunia demi setetes indahnya cinta.
***

Kamis, 05 Juli 2007

Perang Bubat di Paris van Java

Ini postingan Dika Amelia di milis sastra Bentang

Perang Bubat Di Parijs Van Java

Menyoroti perdebatan tentang Perang Bubat di berbagai milis memang asyik (menurut sebagian orang) apalagi bagi mereka yang mencintai sejarah atau hendak menguak tabir sejarah yang telah mereka warisi dari para leluhur. Tapi belum lengkap rasanya jika tidak menghadiri diskusi antara Langit Kresna Hariadi dan Hermawan Aksan tentang buku mereka berdua di PVJ (Parijs Van Java) Bandung, 4 Juli kemarin. Acara yang menjadi bagian dari pameran buku seminggu ini memang sengaja dihadirkan, selain untuk mengupas tuntas buku Perang Bubat nya mas Langit Kresna dan Dyah Pitaloka nya Kang Hermawan juga untuk mempersilakan pembaca "mengapresiasi" atau bahkan "menghakimi" kedua penulis.
Di awal diskusi, moderator bertanya pada audiens perihal siapa yang telah membaca novel Dyah Pitaloka atau Perang Bubat. Tersebutlah 2 orang yang mengacungkan tangan sambil malu-malu, salah satu diantaranya adalah saya. Karena itu, saya dan mas galih (salah seorang audiens yang juga mengacungkan tangan) diminta untuk menceritakan kesan terhadap buku tersebut. Deg degan bukan main.Yang saya sampaikan adalah pertama:permohonan maaf pada mas Langit Kresna karena belum sempat membaca bukunya, kedua:lebih suka membaca novel sejarah dibandingkan teori sejarah yang menjemukan, ketiga:ending Dyah pitaloka yang menjadikan Gajah Mada sebagai penguasa yang tidak memiliki cinta nampaknya terlalu emosional, bukankah catatan sejarah Gajah Mada memang misterius? Karena di balik kedigdayaan seorang Patih idola Indonesia itu juga tersimpan cinta, karena fitrahnya adalah manusia biasa?, keempat:dari kisah itu saya baru menyadari bahwa mitos pertentangan "jawa-sunda" begitu mengurat akar, dan butuh waktu hingga ribuan putaran rembulan bertengger di langit malam.
Akhirnya diskusi dimulai dengan penyebaran hand out 3 lembar tentang Perang Bubat. "Hand out ini dibuat oleh Trian Hendro, dia secara pribadi berdiskusi dengan saya tentang sejarah Jawa-Sunda, beliau bahkan menangis karena tidak bisa hadir disini", aku Hermawan Aksan. Ck.ck.ck..salut lah.
Langit Kresna dan Hermawan Aksan punya latar belakang yang berbeda tentang tema sentral tulisan. "Mau anda sebut ini novel yang menguras emosi atau catatan tentang politik gajah mada, itu terserah", tandas mas Langit. Sedangkan kang Her menyebutkan, "Saya hanya mau mengungkapkan makna yang sederhana, yaitu cinta. Dan salah satu faktor perang bubat adalah gajah mada tidak memiliki cinta". Mas Langit memang sempat mendapatkan kritikan bahwa novel yang dibuatnya mengada-ada, tidak berdasarkan pada riset yang valid. Namun dalam kata pengantar di buku Perang Bubat karangannya, dia mengakui bahwa mempelajari sejarah untuk menelurkan buku tersebut sangatlah membutuhkan waktu dan perhatian ekstra, tidak hanya proses pengerjaan dan risetnya saja.
Mas Langit yang jawa dan beristrikan wanita sunda asli dayeuh kolot mengarahkan pendengar pada 1 pertanyaan, siapakah yang menyerang lebih dahulu? "Yang lebih dahulu tersinggung, dia yang menyerang",ungkapnya. Dari kalimat itu saya tangkap, Sunda lah yang menyerang duluan. Lalu siapakah yang salah? "Ini bukan persoalan orang jawa atau sunda, atau siapa yang salah dan yang benar, tapi ini masalah sudut pandang. Sudut pandang satu adalah gajah mada jengkel dengan kerajaan sunda yang tidak mau bergabung (menjadi taklukan majapahit) padahal ongkos yang dikeluarkan majapahit untuk mengamankan pertahanan kelautan sangat besar, sudut pandang yang lain adalah kerajaan sunda merasa dilecehkan", jawab Mas Langit. Sedangkan kang Her, yang ternyata asli brebes itu (lho..?), menjawab bahwa "Secara umum, sunda dan jawa tidak salah. Namun agar alur cerita lebih dramatis, kesalahan ditimpakan pada satu orang". "Saya tidak begitu hafal silsilah kerajaan jawa-sunda yang ternyata bersaudara itu, namun yang namanya cerita kan harus ada pemeran antagonisnya agar lebih seru", tambah Kang Her.Well, ternyata itulah Gajah Mada.
Bagaimana sih komposisi fakta dan fiksi dalam kedua buku ini? Jika ini fiksi, apalah yang diperdebatkan? Perdebatan yang akhir-akhir ini marak di milis adalah seputar peran Gajah Mada. Yang jelas, masing-masing buku menyimpan kekuatan karakter dari setiap penulisnya. Tentunya, pembaca juga menginginkan fakta yang jujur tentang perang bubat itu yang konon tidak tercatat dalam negarakertagama. "Memang sebagian besar adalah fiksi, namun ada beberapa fakta yang tidak saya ganggu gugat, misalnya Dyah pitaloka kawin lari dengan wirayudha, itu kan gak mungkin", jelas Kang Her. Ya,yang namanya kisah tidak semua berakhir dengan bahagia, sama halnya kita mengenal Surga dan Neraka.
Stereotip budaya yang berkembang adalah mengenai perkawinan jawa-sunda, bahwa pria sunda jika menikah dengan wanita jawa maka akan awet rajet, bertengkar terus, dan juga sebaliknya. Buku Dyah Pitaloka hadir untuk menumbangkan stereotip tersebut dengan filosofi "cinta" nya. Tentu saja, mitos ini tidak berlaku bagi kedua penulis karena ternyata keduanya beristrikan perempuan sunda (dengan asal usul kang Her yang ternyata Brebes..lho) . Tapi bagi mas Langit, ia harus melampaui 12 bulan untuk diterima di keluarga sang istri, mengharukan.
Diskusi sudah berlangsung 1 jam hingga akhirnya kedua penulis membeberkan rahasianya. Langit kresna saat ini sedang membuat proyek gila-gilaan, yaitu menerbitkan novel 3 bulan sekali, sebanyak 10 jilid dengan tebal halaman masing-masing 832 halaman. Rumusnya adalah, bangun tidur kemudian menulis 3 halaman lalu berkativitas, lalu istirahat lagi, lalu menulis lagi 3 halaman, begitu seterusnya selama 24 jam seharian di dalam rumah. Sedikit ia membocorkan tema novelnya yaitu tentang beliung dari timur, kisah tentang candi murca. Hermawan Aksan tidak kalah produktif, ia berencana akan menulis novel lagi yang mengisahkan tentang pengembaraan Wastukencana, adik Dyah Pitaloka Citraresmi, menyusuri jawa timur untuk membalaskan dendam keluarganya. Tentunya ini fiksi. Wuih, kami tunggu karya bapak-bapak semua.
Diskusi ditutup dengan pernyataan dari mas Langit tentang pesan dari buku tersebut, "Saya hendak meluruskan pernyataan Trian bahwa saya tengah menjadikan prajurit-prajurit Gajah Mada sebagai kambing hitam. Menurut saya, secara realistis di sekeliling kekuasaan selalu terdapat penjilat. Mahapatih punya pendukung dan juga penentang. Kemudian jangan ragu jika anda jatuh cinta dengan orang jawa dan sebaliknya". Hm, pesan yang tidak begitu saja dapat meruntuhkan bangunan paradigma kebuadayaan yang menjulang tinggi, antara tanah jawa dan sunda. Sedangkan Kang Her menutup dengan ungkapan membesarkan hati bahwa buku ini tidak ia buat hanya untuk orang sunda, atau untuk orang jawa tapi untuk rakyat Indonesia.
Begitulah liputan singkat perang bubat di parijs van java. Tidak ada samudra merah yang menenggelamkan mentari senja, atau lautan darah di tanah tegal bubat. Tidak ada kilatan keris yang beradu dengan kujang, atau deru teriakan para kesatria kerajaan. Yang ada adalah pengumuman bahwa tanggal 7 juli Andrea Hirata akan ngobrol bareng Riri Reza tentang "Aspek Filmis Tetralogi Laskar Pelangi" jam 4 sore, tetap di parijs van java, bandung tercinta.

salam sastra, :-)

dika amelia

http://dikaameliaif ani.blogspot. com/
__._,_.___

Selamat Datang di Dunia Maya

Akhirnya punya juga aku yang namanya blog. Selama ini memang selalu kudengar kata-kata semacam ini "hari gini ga punya blog!" Aha. Sebagian juga menganggap siapa pun yang tak punya blog berarti dia berasal dari generasi masa lalu entah kapan.
Masalahnya bagiku bukanlah bahwa aku generasi eighties atau bukan. Aku adalah jenis orang yang tidak telaten mendokumentasikan segala naskahku. Banyak esai, cerpen (baik yang sudah dimuat maupun yang belum), dan calon novel (tentu saja belum dipublikasikan) yang hilang gara-gara kurang telaten ini.
Mungkin dengan membuat blog, sifat buruk ini akan berkurang.
Harusnya orang lain (siapa pun mereka) yang menyambutku dengan kata-kata: Selamat datang di dunia maya! Tapi biarlah aku mengatakannya sendiri.
Selamat bertemu, dunia maya!